Aksara Hujan
Aku masih di sini, menyelamatkanmu dari kesendirian. Namun nyatanya. Bagimu, melepaskanku adalah sebuah kelegaan.
~ Azzahra Yusup Fatimah
Denganmu Aku Ingin Beranjak
Aku percaya, suatu waktu kesendirian ini akan memudar dan beranjak menjadi hal yang mampu kulakukan. Dan ketibaanmu menjadi titik balik untukku. Semula kita yang terjebak di antara keterdiaman, menelan ribuan detik untuk memulai percakapan pertama.
Aku sadar betul, ketakutanku untuk memulai dan keraguanmu untuk melangkah menjadi jarak yang bentang di antara kita. Kepergian seseorang di masa lalu masih saja berkelindan di dalam kepala, berharap aku masih mau menunggu untuk waktu yang tak pernah tiba. Satu-dua perasaan datang dan pergi, sedang aku masih saja seorang diri.
Jika cinta itu masih ada, untuk apa aku harus memulai kembali?
Penderitaan itu, kesepian itu, melumat pagi dan malamku; sampai, ketibaanmu membuka mataku bahwa beranjak ialah sesuatu yang mampu kulakukan. Perlahan, ketakutan itu sirna dan kamu diam-diam berkunjung ke ruang perasaanku. Mungkin kamu tidak menyadarinya, tetapi perlahan hariku menjadi berbeda.
Diam-diam, kepalaku mulai mengingat wajahmu. Diam-diam kepalaku mulai mengingat namamu. Diam-diam perasaanku mulai memeluk kehangatanmu.
Namun aku sadar, ada beberapa perbedaan yang masih menjadi jurang di antara kita, tetapi aku ingin mencoba untuk beranjak. Dan itu denganmu.
Apakah Kamu Mau Menua Bersamaku?
Keinginan ialah satu-satunya batas yang menahan langkah kita untuk bergerak. Kita mengerti perihal patah hati masing-masing dan perlahan mulai bercerita⸺perlahan belajar memahami satu sama lain. Dan untuk detik-detik yang telah terlewatkan, aku bersyukur bisa mendengar banyak darimu. Hanya saja, memulai kembali tidak pernah mudah.
Apakah kamu juga mencintaiku?
Aku begitu takut untuk menanyakannya, seakan segalanya akan berakhir begitu aku mengatakannya padamu. Mungkin, kehilangan ialah akar dari segala ketakutan yang ada, dan kamu begitu berharga untuk pergi dari hidupku. Mungkin, pertanyaan tentang cinta pun ialah akar dari segala keraguan yang tumbuh di dalam dada.
Mungkin, suatu hari aku perlu mengajakmu pergi menemui laut, bercerita di antara lembut suara gelombang yang membelai kaki-kaki kita. Menjelma menjadi anak indie, dengan segelas kopi hitam hangat lalu menunggui senja tiba.
Karena matamu, tak ubahnya lembut senja yang menyelimuti langitku. Menjadi teman menyambut dingin malam yang panjang⸺obat dari kesendirian.
Andaikan Segalanya Berakhir, dan Aku Tidak Menahu Bagaimana Caranya Untuk Pergi
Andaikan segalanya berakhir, dan aku tidak menahu bagaimana caranya untuk pergi. Sedangkan, kamu selalu menemukan jalan untuk memastikan perpisahan. Kita berdiri di persimpangan jalan tanpa mengucapkan satu kata pun. Kamu melangkah menuju pelukan jarak, dan aku mematung seorang diri berharap ini hanya sebuah ilusi.
Tiada kuasa untuk berjalan melawan arus yang telah dituliskan oleh Tuhan, tetapi bisa jadi ini bukan tentang itu. Angin bersemilir, mengembuskan segala bayang-bayang di masa silam di mana kita masih kerap bercerita tentang hari-hari yang dilalui. Betapa mendengarkanmu menjadi hal yang paling kusenangi.
Andaikan segalanya berakhir, dan aku tidak menahu bagaimana caranya untuk pergi. Apakah kamu akan merasa lega atau sebaliknya, sesal kian meranggas dada?
Hari-hari yang berlalu kini telah berbeda, sedangkan tentangmu, aku begitu sulit untuk melupa. Perihal kenangan-kenangan yang kian memenuhi perpustakaan kepala: genggaman tanganmu di antara jemariku, senyum dari bibir tipismu yang selalu terbit setiap aku melemparkan lelucon, dan segala yang telah melekat di diriku. Perpisahan telah melumat realita di antara kita, sedang aku masih enggan untuk beranjak.
Aku, seorang penyair yang kehilangan kata-kata; seorang pendaki yang kehilangan kompas menuju puncak yang ditujunya.
Bukankah kamu pernah bilang bahwa tiada satu pun yang akan menjadi batas bagi perjalanan kita?
Justru, kini akulah yang tetap melalui perjalanan itu.
Sendirian.
😇
BalasHapusHallo, terima kasih telah berkunjung
Hapus